Berkunjung ke ’’Kampung Bentor’’

Jadi Mata Pencaharian, Khawatir Ditertibkan Petugas



BENTOR - Salah satu bentor yang melintas di terusan Jalan Bung Hatta Monjok, Senin malam. Setiap malam, jalan baru yang belum dilengkapi PJU (Penerangan Jalan Umum) ini dilalui oleh lima hingga tujuh bentor. Lampu hias dan musik membuat penumpang tertarik mencoba alat angkutan yang satu ini. (Suara NTB/fit)

Siapa sangka, istilah Bentor, sebutan untuk becak motor yang dulunya hanya ada di kota-kota besar di Indonesia, hadir juga di Mataram. Bahkan semakin lama jumlahnya makin menjamur. Bahkan di Kota Mataram, ada sebuah kampung yang selalu ramai dengan hiruk pikuk bentor yang lalu lalang mengangkut penumpang.

ADALAH Kelurahan Monjok, secara tidak langsung mengukuhkan diri sebagai ''kampung bentor''. Dengan memanfaatkan terusan Jalan Bung Hatta yang dibangun pemerintah dari Monjok hingga tembus ke Keluarahan Rembiga, para pemilik bentor memacu kendaraannya, mencari penumpang. Terusan jalan Bung Hatta yang gelap gulita karena memang belum ada PJU-nya, seolah tidak menjadi halangan para pemilik bentor untuk narik (mencari penumpang, red).

Berbekal bentor yang merupakan hasil modifikasi sepeda motor dengan ditambahkan bak untuk mengangkut penumpang di bagian depan, para pemilik bentor lalu lalang di terusan Jalan Bung Hatta tersebut. Satu-satunya sumber penerangan yang digunakan adalah lampu hias yang dipasang di sekeliling bentor. Ahmad, salah seorang pemilik bentor yang ditemui Suara NTB, Senin (28/10) malam mengaku, bentor kini sudah menjadi mata pencahariannya untuk menghidupi keluarga.

Sejak sebulan terakhir, ia rutin narik bentor. ‘’Keluarnya kira-kira habis magrib sekitar jam stengah 8 malam,’’ akunya. Menurut Ahmad, bentor lebih menjanjikan ketimbang ojek motor. Apalagi kalau ornamen lampu hias yang menempel pada bentor dibuat lebih bervariasi. Sebab, penumpang jelas akan memilih bentor yang banyak lampu hiasnya ditambah dengan musik yang sedang hits.

Untuk sekali narik, sambungnya, bentor miliknya bisa mengangkut hingga empat penumpang dengan ukuran badan standar. ‘’Kalau anak-anak bisa sampai lima orang,’’ imbuhnya. Dimana untuk rute pendek seperti terusan Jalan Bung Hatta, setiap penumpang akan dikenakan tarif Rp 2.000 – 3.000 per orang. Namun, ditengah upayanya menghidupi keluarganya dengan jalan narik bentor, laki-laki 35 tahun ini, mengaku kerap khawatir menjadi sasaran penertiban petugas. Ia pun menyadari kalau bentor belumlah menjadi alat angkutan yang dilegalkan pemerintah.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Perhubungan Darat, Laut dan Udara Dishub Kota Mataram, Mahfuddin Noor kepada Suara NTB di DPRD Kota Mataram, Selasa (29/10) kemarin mengatakan, bentor yang ada di Mataram saat ini, tidak lebih dari sepeda motor yang dimodifikasi jadi model becak. ‘’Kalau kita lihat operasional bentor ini kan masih terbatas, membawa anak kecil saja dan pada malam hari karena mereka mengutamakan lampu-lampu hias,’’ terangnya.


Ia uyakin pemilik bentor tidak akan berani beroperasi pada pagi hari karena tahu kalau bentor itu dilarang untuk angkutan umum. Pihaknya, demikian Mahfuddin cukup dilematis menyikapi keberadaan bentor. Sehingga, sejauh ini, pihaknya memahami kehadiran bentor di Mataram masih sebatas untuk hiburan, meskipun di satu sisi sudah mulai marak masyarakat yang menggantungkan hisupnya dari bentor. (fit)

Comments

Popular Posts