Pemda dan Kontraktor Jangan ‘’Main Mata’’
MONOPOLI
proyek oleh kontraktor tertentu, sepertinya bukan rahasia lagi. Hanya saja,
tidak banyak pihak yang berani mengungkap hal tersebut. Seperti disampaikan Fraksi
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPRD NTB yang mempertanyakan kepada
eksekutif (Pemprov NTB) soal proyek pembangunan dan rehabilitasi jalan yang
hanya dikuasai oleh segelintir kontraktor dan perusahaan tertentu.
Fraksi
PPP menganggap, kontraktor ataupun perusahaan yang mengerjakan proyek jalan di NTB
ini seperti sudah menjadi langganan tetap tiap tahun anggaran.
Meskipun
Wakil Gubernur NTB, H. Muh. Amin, SH, M.Si saat membacakan Jawaban Gubernur
atas pemandangan umum fraksi-fraksi Dewan mengatakan bahwa proses penetapan
rekanan yang mengerjakan proyek tersebut telah melalui proses pelelangan yang
dilakukan oleh lembaga yang berkompeten yakni Unit Layanan Pengadaan (ULP).
Walaupun
telah melalui proses lelang di ULP, diduga tetap ada ‘’main mata’’ antara Pemda
dengan kontraktor yang menjadi langganan mengerjakan proyek. Tidak hanya di
lingkup Pemprov NTB, pemerintah kabupaten/kota di NTB seharusnya tidak
memberikan proyek infrastruktur di wilayah mereka hanya kepada satu kontraktor
saja.
Setiap
pengerjaan proyek baik di provinsi maupun di kabupaten/kota seyogiyanya tidak
dikerjakan hanya satu perusahaan saja. Misalnya, proyek pengerjaan jalan,
jembatan, dan bandara, harus dikerjakaan beberapa perusahaan atau kontraktor.
Monopoli proyek oleh kontraktor tertentu diyakini akan berimplikasi pengerjaan
proyek yang tidak maksimal. Bahkan bias jadi proyek itu tidak akan selesai
tepat waktu atau sesuai target.
Pengerjaan
infrastruktur harus benar – benar mendapat perhatian serius. Jika tidak, akan
berdampak terhadap banyak hal di daerah. Termasuk perekonomian masyarakat.
Apalagi dalam Peraturan Presiden (Perpres), mengisyaratkan adil kepada semua
pengusaha konstruksi. Kontraktor besar yang mendapat proyek bernilai besar,
memiliki kewajiban 30 persen memberikan jatah kepada pengusaha kecil menengah
lainnya (disubkontrakkan).
Nilai
proyek yang masuk ke NTB setiap tahun cukup besar, sayangnya hanya satu dua
kontraktor yang melaksanakan proyek tersebut. Mestinya proyek itu diatur agar
tidak dimonopoli oleh perusahaan tertentu. Tidak dipungkiri bahwa sebagian besar
kontraktor di NTB merupakan kontraktor katagori kecil dan menengah. Sehingga, kemampuan
untuk melaksanakan proyek besar masih kurang.
Peranan
kontraktor besar tidak terlepas dari politik. Kenapa misalnya kontraktor besar
mendominasi proyek di daerah-daerah, diduga tidak lepas dari faktor kedekatan
dan politik balas jasa. Apalagi menjelang Pilkada seperti sekarang ini para
kandidat kepala daerah membutuhkan sokongan anggaran yang tidak kecil. Maka
donator berkantong tebal seperti kontraktor kerap dikaitkan sebagai pihak
penyedia anggaran. Sebagai imbalannya, proyek-proyek akan diberikan kepada
mereka. Hal ini membutuhkan pengawasan bersama. (*)
Comments