Proteksi Petani dan Masyarakat
PELARANGAN
terhadap beras impor masuk ke NTB sebagaimana disampaikan Gubernur NTB Dr.TGH.
M. Zainul Majdi saat menghadiri Gerakan Penanaman Serentak dalam Mendukung
Peningkatan Produksi Pajale di Lingkungan Nyangget, Kelurahan Selagalas,
Mataram, Senin (7/12), patut diapresiasi sebagai sikap yang tegas.
Karena
tidak ada alasan bagi NTB untuk mengimpor beras, mengingat produksi padi di
daerah ini cukup tinggi. Begitu juga untuk pemenuhan kebutuhan beras miskin
(raskin) bisa dipenuhi oleh persediaan beras lokal. Akan menjadi sangat ironis
jika beras impor masuk ke NTB dimana di saat bersamaan digencarkan gerakan
penanaman.
Semua
pihak bersama-sama memastikan NTB memiliki kecukupan bahan pangan tanpa
bergantung dari luar. Selain itu juga harus berupaya bersama dalam rangka
mengantisipasi kekurangan bahan pangan di NTB. Kecukupan pangan adalah faktor
yang sangat menentukan kemandirian suatu bangsa.
Di
NTB, stok beras yang tersedia sudah surplus. Namun kondisi ini tidak serta merta
membuat masyarakat merasa nyaman. Pasalnya, meskipun hasil panen padi petani
berlimpah namun harga beras masih dikelukan masyarakat. Seperti saat ini
misalnya, harga beras di pasar-pasar tradisional berkisar antara Rp 10 ribu –
Rp 11 ribu. Tergantung dari kualitas beras tersebut.
Sehingga
tidak jarang para pengusaha lebih memilih mendatangkan beras impor ketimbang
menjual beras lokal. Beras impor, harganya mampu bersaing dengan beras lokal
dengan harga jual lebih murah di pasaran. Padahal di sisi lain, dengan kondisi
surplus itu, petani juga sering dihadapkan pada pilihan yang sulit. Bulog yang
diharapkan mampu menyerap hasil panen petani, langkahnyapun terbatas pada regulasi yang ada.
Selain
kuota penyerapan gabah petani yang minim, hargapun kurang menggembirakan. Sehingga
kabarnya, ada juga petani-petani yang menjual hasil panennya di tempat dan juga
mengantarpulaukan hasil panen itu ke luar daerah. Petani memang seolah tidak
mempunyai pilihan yang menguntungkan selain terpaksa merelakan hasil mereka dengan
harga yang tidak mensejahterakan.
Harga
beras yang relatif mahal ini, tentu saja ada peran para tengkulak. Kondisi ini
menjadi tantangan berat pemerintah ketika gubernur melarang beras impor masuk
ke NTB. Karena idealnya dengan kondisi beras yang selalu surplus bahkan mampu
menjadi penopang daerah-daerah lain di sekitar NTB, mestinya berbanding lurus
dengan kesejahteraan petani dan juga harga jual beras ke konsumen.
Pemerintah
harus mampu memproteksi petani khususnya dan juga masyarakat pada umumnya.
Harus ada langkah-langkah strategis yang diambil agar seimbang dengan kebijakan
pelarangan masuknya beras impor ke NTB. Dengan langkah itu barulah petani dan
masyarakat dapat menikmati surplus beras tersebut. Kondisi surplus beras ini
tentu harus dipertahankan, bila perlu ditingkatkan.
Untuk
mewujudkan hal itu, harus ada regulasi khusus untuk mengawal penyusutan lahan
pertanian dan sejumlah kebijakan yang bersingkungan dengan bidang pertanian.
(*)
Comments