Dana Aspirasi Bukan ‘’Proyek’’
PENGAKUAN
Kepala Dinas PKP (Perumahan dan Kawasan Pemukiman) Kota Mataram, HM. Kemal
Islam terkait dana aspirasi Dewan, cukup mengejutkan. Pasalnya, hampir sebagian
besar anggota DPRD Kota Mataram menitipkan dana aspirasi mereka di SKPD yang
dipimpin Kemal Islam itu. Jumlahnya terbilang cukup banyak, mencapai 74 paket
proyek fisik.
Seperti,
rabat jalan, pembangunan jalan lingkungan, taman, perbaikan rumah kumuh dan
lain sebagainya. Dari 74 paket proyek itu, total anggarannya mencapai Rp 12
miliar. Karena proyek yang berasal dari program aspirasi anggota Dewan itu
nilainya kecil-kecil, maka pola pengerjaannya menggunakan PL atau penunjukkan
langsung.
Nilai
proyek yang didanai melalui dana aspirasi anggota DPRD Kota Mataram itu,
rata-rata berkisar antara Rp 50 juta – Rp 100 juta. Namun demikian program
aspirasi itu belum bisa dilaksanakan. Alasannya,
anggota Dewan yang menitipkan anggaran belum melakukan perencanaan. Yang lebih
mengejutkan, Kemal menyampaikan bahwa biasanya anggota Dewan membawa rekanan
sendiri ke dinas untuk mengerjakannya.
Hal
ini berkebalikan dengan apa yang disampikan Ketua DPRD Kota Mataram, H. Didi
Sumardi, SH. Didi mengatakan bahwa kewenangan DPRD sebatas melahirkan
pokok-pokok pikiran menjadi kebijakan daerah dan bagaimana mengeksekusinya itu
merupakan urusan atau kewenangan sepenuhnya eksekutif. Sebetulnya, aturan itu
sudah menegaskan bahwa Dewan hanya menyampaikan apa yang menjadi aspirasi
konstituennya yang perlu dibiayai melalui program aspirasi.
Tidak
kemudian, Dewan ikut campur bahkan terkesan mengintervensi dengan membawa
rekanan sendiri. Ada anggapan dan Ketua DPRD bahwa sejumlah pihak salah
mempresepsikan program aspirasi. Namun akhirnya anggapan ini menjadi wajar
ketika anggota Dewan juga melakukan hal-hal yang dianggap kurang layak bahkan
melanggar aturan.
Karena
ada kesan, sebagai anggota Dewan yang memiliki program aspirasi, cenderung
ingin mendapatkan bagian dari program aspirasi itu. Anggota Dewan menganggap
dirinya sebagai dewa penolong bagi pihak-pihak yang melaksanakan proyek fisik
yang sumber dananya dari program aspirasi itu. Sehingga, turunnya program
aspirasi itu kerap diiringi isu tak sedap. Mulai dari oknum Dewan menggunakan
rekanan sendiri hingga soal fee.
Ini seperti sudah menjadi tradisi di kalangan anggota
Dewan. Sehingga stigma fee dalam
penunjukkan rekanan proyek yang didanai dari program aspirasi itu sulit
dihilangkan. Memang tidak semua anggota Dewan menempuh jalur tersebut. Oleh
karena itu, anggota Dewan yang melaksanakan program aspirasi mereka secara
benar, pasti terusik dengan dengan stigma tersebut. Untuk itu, para anggota
Dewan harus membuktikan itu.
Misalnya, tidak menekan eksekutif agar menggunakan
rekanan yang mereka tunjuk sendiri. Anggota Dewan dengan penghasilan di atas
rata-rata seharusnya tidak lagi tergiur dengan apa yang menjadi hak masyarakat.
Karena bagaimanapun, program aspirasi itu hajatannya untuk masyarakat. Pimpinan
DPRD harus lebih sering saling mengingatkan anggotanya agar tidak melibatkan
diri dalam eksekusi program aspirasi. Jangan ada anggapan bahwa program
aspirasi itu adalah proyek sampingan bagi anggota Dewan. (*)
Comments