PEMPROV
NTB telah menetapkan nominal UMP (Upah Minimum Provinsi) tahun 2013 sebesar Rp
1,1 juta per bulan. Namun demikian, hingga saat ini, diduga masih banyak
perusahaan yang beraktivitas di NTB, melanggar ketentuan pengupahan yang
berlaku efektif mulai Januari 2013 lalu. Alhasil, tidak jarang pekerja merasa
dirugikan atas hal tersebut. Para buruh tidak mampu berbuat banyak atas
kesewenang-wenangan yang dilakukan perusahaan karena diancam dengan pemutusan
hubungan kerja (PHK).
Padahal,
sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan untuk membayar upah tenaga kerja sesuai
dengan UMP, meskipun dilakukan secara bertahap. Sayangnya, aturan agar tenaga
kerja dibayar upahnya sesuai UMP, belum sepenuhnya bisa diterapkan di NTB. Sebab
di NTB sendiri masih banyak perusahaan yang tidak mampu memenuhi tuntutan
aturan tersebut.
Jika
perusahaan diharuskan membayar upah pekerja sesuai UMP, maka konsekuensinya
banyak perusahaan melakukan PHK. Misalnya, usaha pertokoan yang banyak menjamur
di Mataram. Mayoritas usaha perdagangan hampir tidak ada yang menggaji
pekerjanya sesuai UMP. Tidak hanya usaha pertokoan, masih banyak jenis usaha
lainnya yang juga melakukan praktik membayar upah pekerja di bawah UMP.
Persoalan
UMP ini memang serba dilematis. Apalagi sudah menyangkut urusan perut. Bahkan
para pekerja rela dibayar rendah asalkan bisa tetap bekerja. Jika dipaksakan
perusahaan harus membayar upah pekerjanya berdasrkan UMP, sementara kekuatan
finansial perusahaannya tidak mendukung untuk melaksanaka ketentuan tersebut, bukan
tidak mungkin perusahaan bakal mengambil jalan pintas dengan melakukan
rasionalisasi jumlah pekerja. Imbasnya, tentu akan ada karyawan yang kehilangan
pekerjaannya.
Namun
begitu, perusahaan yang tergolong tidak mampu menggaji karyawan sesuai UMP,
tidak boleh mengambil keputusan sepihak dengan jalan memecat karyawannya. Hal
ini harus dilaporkan ke kadin dan segera mengajukan penangguhan pembayaran upah
sesuai UMP. Selain itu, perusahaan bisa menyampaikan secara langsung kepada para
pekerja, bagaimana kondisi keuangan perusahaan. Jika terjadi PHK sepihak tentu
sangat mengkhawatirkan. Perusahaan tentu mengerti apa yang menjadi harapan para
karyawan. Oleh karena itu, pembicaraan bipartit sangat penting dilakukan,
supaya terbangun kesepahaman antara perusahaan dan pekerja.
Dinas
Tenaga Kerja yang ada di kabupaten/kota berdasarkan tugas dan fungsinya, juga harus
terus mendorong dan melakukan pembinaan terhadap perusahaan supaya secara
bertahap mereka bisa membayar upah tenaga kerjanya sesuai dengan UMP. Dinas
Tenaga Kerja harus memiliki data yang jelas perusahaan mana saja yang menggaji
karyawannya di bawah UMP. Terhadap perusahaan yang mengajukan penangguhan
pembayaran gaji sesuai UMP, harus diselidiki, apakah benar perusahaan itu tidak
mampu atau hanya akal-akalan saja supaya lolos dari kewajiban membayar gaji
pekerja sesuai UMP. Terhadap perusahaan yang nakal, harus ada sanksi, sehingga
tidak terus-terusan beralasan tidak mampu. (*)
Komentar