Mataram
(Suara NTB) –
Puluhan
pegawai BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) Kota Mataram mengeluh.
Terhitung sejak Januari hingga Mei 2013 ini, mereka lima bulan belum menerima
honor. Sehingga, untuk operasional sehari-hari terpaksa ditalangi dari kocek
pribadi.
Kepala
Sekretariat BPSK Kota Mataram, Sayudi Effendi, BA., kepada Suara NTB di Dinas Koperindag Kota Mataram, Kamis (2/5) kemarin,
mengatakan, hingga Bulan Mei, anggaran BPSK tidak kunjung turun. Ia mengaku,
sumber anggaran untuk operasional BPSK berasal dari hibah Pemkot Mataram. Namun
demikian, jumlahnya diklaim sangat minim. Bagaimana tidak, sejak terbentuk 24
Juni 2010 lalu, operasional BPSK Kota Mataram hanya dianggarkan Rp 100 juta per
tahun. Termasuk untuk membayar honor pegawai BPSK dan kepentingan BPSK lainnya.
Tidak
heran kalau BPSK kurang dikenal masyarakat secara luas. Padahal, wilayah kerja
BPSK Kota Mataram bisa dikatakan se-NTB, kecuali KLU yang telah membentuk BPSK
sendiri. Ini, kata dia, tidak terlepas dari masih banyaknya kekurangan di
internal BPSK. Terutama minimnya anggaran yang dimiliki BPSK Kota Mataram.
Selama hampir tiga tahun usia BPSK Kota Mataram, lembaga ini baru satu kali
mengadakan sosialisasi. Itupun masih terbatas di kalangan pejabat. ‘’Memang
masyarakat banyak yang minta tapi kita belum mampu,’’ cetusnya. Padahal,
masyarakat sangat berkepentingan mengetahui keberadaan BPSK serta mengetahui
bagaimana cara berperkara di BPSK.
Jumlah
personel BPSK 20 orang. Mengenai anggaran ideal, kata Yudi, sebetulnya memang
sangat tergantung dari daerah masing-masing. Ia mencontohkan Sukabumi
mengalokasikan Rp 800 juta lebih untuk BPSK disana. Sedangkan KLU yang baru
saja membentuk BPSK telah menganggarkan Rp 300 juta. Akibat minimnya anggaran
yang dimiliki BPSK Kota Mataram, ia mengaku banyak program BPSK yang tidak bisa
dilaksanakan.
‘’Kita
mau mengadakan seragam BPSK, atribut BPSK, mau berkunjung ke BPSK yang paling
maju di Indonesia seperti Medan, jelas tidak bisa,’’ keluh Yudi. Untuk
sementara ini, untuk biaya penyelesaian sengketa, pihaknya harus ikhlas
mengeluarkan anggaran pribadinya. Seperti untuk menggelar sidang penyelesaian
sengketa, dimana satu kasus ditangani oleh tiga majelis. ‘’Paling tidak kita
harus sediakan mereka makan, karena sidangnya sampai sore,’’ ujarnya.
Demikian
pula dengan fasilitas lainnya seperti sepeda motor, nihil. Padahal sarana
transportasi tersebut sangat dibutuhkan demi kelancaran tugas BPSK. Ia berharap
anggaran operasional BPSK segera cair dengan nominal yang tidak lagi hanya Rp
100 juta, tetapi setidaknya menyamai anggaran BPSK KLU. (fit)
Komentar