Jangan Ada Permainan


PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) hampir selalu diikuti dengan beragam persoalan. Mulai dari pungutan hingga dugaan permainan BL (Bina Lingkungan). Pemanggilan Sekda Kota Mataram, Ir. HL. Makmur Said, MM., bersama Kepala Dinas Dikpora, H. Ruslan Effendi oleh Komisi II DPRD Kota Mataram cukup positif. Hanya saja pemanggilan itu harus jelas tindaklanjutnya seperti apa.

Karena bercermin dari pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, begitu banyak masalah muncul dalam penerimaan PPDB. Terutama PPDB jalur BL. Meskipun kuota BL sudah ditentukan, namun faktanya banyak sekolah melanggar ketentuan tersebut. Hal ini terlihat dari jumlah siswa yang diterima melampai kuota yang telah ditetapkan sebelumnya.

Harus ada ketegasan dari Dikpora untuk tidak berkontribusi melanggar PPDB jalur BL. Meskipun BL, bukan berarti dalam penerimaannya dilakukan secara asal-asalan. Karena seperti tahun sebelumnya, mencuat dugaan maraknya titipan anak pejabat melalui jalur BL. Bahkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab diduga memperjualbelikan kursi kepada calon siswa yang hendak masuk melalui jalur BL.

Hal inilah yang membuat BL menjadi kacau balau. Kuota yang sudah ditetapkan dilanggar demi untuk mengeruk keuntungan dari calon siswa yang memang butuh bersekolah di sekolah tertentu. Kecurangan-kecurangan seperti ini memang sulit dibuktikan, namun banyak kalangan bahkan Dewan juga meyakini praktik kotor itu terjadi.

Fenomena persoalan PPDB lewat jalur BL harus segera dicarikan solusi yang tepat. Sebab, percuma saja Dewan memanggil Dikpora bahkan menghadirkan Sekda, kalau kebijakan yag dihasilkan dalam pertemuan tersebut tidak bisa dilaksanakan. Karena, tahun lalupun sebelum proses PPDB dimulai, Dewan juga melakukan hal serupa. Memanggil jajaran Dinas Dikpora.

Dikpora dalam hal ini mestinya punya keingnan yang kuat, bagaimana mewujudkankan PPDB yang bersih dan berkualitas. Pertemuan Dewan dengan Dikpora kemarin diharapkan bisa dilaksanakan dengan baik. Seperti mengurangi kuota penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah yang notabene sekolah favorit. Misalnya dari empat kelas menjadi dua kelas. Kalaupun nantinya ada pihak-pihak yang terkesan memaksa masuk di sekolah tertentu sementara syarat nilai tidak terpenuhi, maka harus ada keberanian dari pihak sekolah untuk menolaknya.

Dikpora tidak boleh melulu berpikir negeri. Karena di Kota Mataram misalnya, banyak sekolah swasta yang setiap tahun menjerit karena terancam tak dapat siswa. Karenanya harus ada kebijakan yang tidak merugikan salah satu pihak. Pemerintah juga perlu memikirkan nasib sekolah-sekolah swasta dan juga sekolah pinggiran. Jangankan sekolah swasta, sekolah negeri yang berada di pinggiran kota pun belum mampu menarik antusias calon siswa untuk bersekolah di sana. Yang jelas, sepanjang tidak ada permainan dalam PPDB, aturan yang telah dibuat pasti akan menjadi win-win solution bagi sekolah negeri favorit, sekolah negeri di daerah pinggiran dan sekolah swasta. (*)

Komentar