TGH. Ahmad Muchlis |
PENANGANAN
anjal harus diakui memang tidak gampang. Termasuk di Kota Mataram. Penanganan
anjal ini tidak terlepas dari persoalan anggaran. Bahkan menurut anggota Komisi
II DPRD Kota Mataram, TGH. Ahmad Muchlis, kalau anggaran yang ada, tetap
seperti dulu, maka persoalan anjal akan tetap seperti sekarang ini.
‘’Itu
namanya keinginan ala kadarnya,’’ cetusnya menjawab Suara NTB di DPRD Kota Mataram, Jumat (13/6). Padahal, sudah ada
surat edaran Walikota Mataram yang berisikan imbauan ataupun larangan memberi
gepeng dan anjal di jalan. Surat edaran ini dipandang sebagai solusi yang cukup
baik. Hanya saja dalam implementasinya masih belum maksimal.
Surat
edaran tersebut, kata politisi PKS ini, mestinya diikuti dengan langkah tegas
dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Sayangnya sejauh ini, langkah tegas
itu belum konkret. ‘’Kalau orang kerja sehari cuma dapat Rp 70 ribu, tapi anjal
ini cuma bawa kresek, bisa dapat sampai Rp 150 ribu per hari,’’ ujarnya
mencontohkan. Kalau masih ada masyarakat yang memberi di jalan, ia yakin hal
itu bakal membuat gepeng dan anjal menjadi malas dan manja.
‘’Kalau
sudah malas dan manja, ini adalah penyakit kronis yang sulit diobati,’’
imbuhnya. Karenanya ia mendorong langkah tegas sebagai bentuk implementasi
surat edaran Walikota Mataram tentang pelarangan memberi anjal di jalanan. Ia
menyayangkan keluhan Dinas Sosnakertrans Kota Mataram terkait minimnya anggaran
penanganan anjal.
Dikatakan
Ahmad Muchlis, kalau memang penanganan anjal di Mataram terkendala anggaran, ia
berharap hal itu bisa terakomodir dalam APBD perubahan Kota Mataram. ‘’Tidak
hanya sekadar mengeluh tapi apa langkahnya,’’ tanyanya. Ia menyerukan SKPD
terkait membuat program dengan perencanaan yang bagus. Sehingga target yang
hendak dicapai jelas, dengan anggaran yang terukur.
Ia
menyarankan Pemkot Mataram mencontoh Kota Yogyakarta dalam penanganan anjal. Dimana
di Kota Gudeg itu tidak ditemukan adanya anjal karena memang Pemkot Yogyakarta
memiliki program yang jelas. Disetiap perempatan misalnya, selalu dilengkapi
dengan plang larangan supaya tidak memberi di jalan. Di Mataram, hal yang sama
memang pernah diterapkan. Sayangnya kurang efektif karena pesan yang
ditayangkan melalui media tulisan.
‘’Itu
sama saja kita baca koran. Kalau di Yogyakarta itu cukup 10 detik, kita sudah
mengerti apa maksudnya karena medianya gambar,’’ tandasnya. (fit)
Komentar