PP 61/2014 Dikhawatirkan Rawan Penyimpangan



Mataram (Suara NTB) –
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi menuai kritik berbagai kalangan. Termasuk kalangan DPRD Kota Mataram. Terutama pasal yang menyebutkan tindakan aborsi bisa dilakukan untuk tindak perkosaan yang menimbulkan trauma psikologis.

Anggota DPRD Kota Mataram, HM. Husni Thamrin, MPd., kepada Suara NTB di DPRD Kota Mataram menyatakan penolakan pemberlakukan PP tersebut. Menurut dia, pada prinsipnya dalam Agama Islam, aborsi itu dilarang. ‘’Sehingga saya kurang setuju. Kebolehannya itu kalau darurat. Umpanya, kalau tidak aborsi, salah satu dari ibu atau anaknya meninggal dunia,’’ terangnya.

Menurut Husni, kalau pengawalan terhadap PP 61/2014 ini kurang ketat, justru akan rawan terjadi penyimpangan. ‘’Akhirnya aborsi menjadi semacam budaya. Praktik yang menjadi praktik biasa,’’ cetusnya. Ia melihat, di Indonesia yang lemah adalah pengawalan dan penegakan hukum. Sehingga, kalau PP ini digolkan, ia yakin akan banyak penyimpangan.

Sebab, kata Husni, mentalitas pengelola tempat aborsi, banyak yang belum siap. ‘’Mereka belum paham tentang boleh dan tidak boleh dan haram dan halal,’’ tambahnya. Apalagi, fenomena pergaulan bebas anak muda, setelah berhubungan gelap lantas melakukan aborsi. Ditambah lagi banyak dokter yang membuka praktik aborsi secara terselubung.

Dengan adanya PP 61/2014 cenderung melegalkan praktik aborsi. ‘’Nanti orang buka praktik aborsi terang-terangan,’’ tandasnya. Seperti diketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. PP ini di antaranya mengatur masalah aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat pemerkosaan, merujuk Pasal 75 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2009.

PP 61/2014 ini adalah amanat dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. kondisi perlunya aborsi untuk kasus darurat medis mensyaratkan pembuktian dari tim ahli. Misalnya, dalam kasus pemerkosaan, usia janin tidak boleh lebih dari 40 hari, terhitung sejak hari pertama dari haid terakhir. (fit)


Komentar