RENCANA
Dishubkominfo (Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika) Kota Mataram
menjadikan angkot (angkutan kota) menjadi angkutan khusus pelajar, nampaknya
memang perlu dicoba. Kalau dilihat dari hajatannya, moda angkutan khusus
pelajar, cukup positif. Apalagi yang dijadikan angkutan pelajar itu adalah
angkot yang nasibnya kini makin terseok.
Jika
kebijakan ini diberlakukan, tentu akan banyak efek dominonya. Pertama, pelajar
tak lagi harus membawa kendaraan sendiri ke sekolah. Selama ini, tidak sedikit
pelajar membawa sepeda motor bahkan mobil ke sekolah untuk pelajar SMA. Kedua,
moda angkutan pelajar ini akan mampu mengurai kemacetan terutama pada jam-jam
pulang sekolah. Sebab kemacetan yang kerap terjadi pada jam pulang sekolah
karena banyaknya kendaraan penjemput siswa yang parkir di depan sekolah
masing-masing.
Kemacetan
pada jam pulang sekolah sulit dihindari mengingat adanya ketidaksesuaian antara
jumlah kendaraan yang parkir di badan jalan dengan lebar jalan tersebut.
Apalagi rata-rata jalan di Mataram satu jalur seperti Jalan Pendidikan, Jalan
Pejanggik dan Jalan Pemuda. Yang ketiga tentu, kebijakan ini akan
‘’menyelamatkan’’ angkot dari ancaman kematian. Tidak dipungkiri, beberapa
tahun belakangan ini, pengusaha angkot sering mengeluhkan minimnya pendapatan.
Bahkan,
antara pengeluaran dengan pendapatan dari bisnis angkot dipandang tidak
sebanding. Pengusaha angkot tidak jarang merugi akibat mahalnya harga onderdil.
Sehingga, kalau Dishubkominfo memang serius menjadikan angkot sebagai angkutan
pelajar, ini akan menjadi angin segar bagi pengusaha angkot. Namun demikian,
menjadikan angkot sebagai angkutan pelajar, tidak semudah yang dibayangkan.
Banyak
hal yang perlu dipertimbangkan. Seperti kesanggupan orang tua siswa. Karena
bagi pelajar yang telah dibelikan kendaraan oleh orang tuanya, kalau harus
menggunakan angkutan pelajar itu, tentu akan mengeluarkan biaya lagi. Sebab,
kendaraan yang dibelikan untuk anaknya dihajatkan untuk menghemat uang
transport. Selain itu, perlu dipikirkan pula sasaran angkutan pelajar ini
apakah untuk siswa pada jenjang pendidikan tertentu ataukah semua siswa.
Kalau
misalnya siswa SD juga diharuskan menggunakan angkutan pelajar, bukan tidak
mungkin orang tuanya akan khawatir. Kemudian, kalau angkot menjadi angkutan
pelajar, bagaimana dengan masyarakat umum yang tidak memiliki kendaraan pribadi
yang mungkin masih membutuhkan angkutan umum. Kalau faktor-faktor ini sudah
dipikirkan solusinya, tidak ada persoalan jika rencana menjadikan angkot
sebagai angkutan pelajar segera terwujud.
Hendaknya
antara rencana dengan penerapannya tidak terlalu lama. Rencana ini, jika pasti
akan diberlakukan, tentu membutuhkan sosialisasi kepada masyarakat luas. Tidak
hanya itu, sopir angkot harus diberikan pembinaan agar tak ugal-ugalan dalam
mengendarai angkutan tersebut. Angkot harus mempu memberikan rasa aman dan
nyaman kepada para penumpang nantinya yang notabene para pelajar. (*)
Komentar