Jangan hanya Jadi Macan Kertas



UPAYA pemerintah menata kehidupan masyarakat dengan membuat produk hukum berupa perda, patut dihargai. Masyarakatpun banyak yang merasa terayomi dengan adanya perda ini dan itu. Hanya saja, dalam praktiknya di lapangan, tidak sedikit Perda yang hanya menjadi macan kertas, mubazir hingga tak bermanfaat.

Banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa perda yang telah disusun dengan susah payah justru tidak ubahnya coretan di atas kertas yang tak mampu berbuat apa-apa. Kondisi ini mungkin terjadi di banyak daerah di Indonesia. Termasuk pula NTB. Seperti diungkapkan kalangan DPRD Kota Mataram baru-baru ini. Bahwa di Kota Mataram sendiri, dari 310 Perda Kota Mataram yang telah diundangkan dalam lembaran negara terkesan dilepas begitu saja.

Mestinya Pemda harus cepat menyusul Perda-perda yang telah diproduksi dengan aturan yang menjadi turunannya yakni Perwal (Peraturan Walikota). Tetapi kenyataannya, di Kota Mataram sendiri banyak Perda yang telah lama diketok, sampai saat ini belum ada Perwalnya. Wakil Walikota Mataram, H. Mohan Roliskana menurut Ketua Banleg DPRD Kota Mataram, Drs. HM. Husni Thamrin, MPd., pernah menyampaikan alasan mengapa Perwal belum menyertai perda-perda yang telah dibuatnya, karena nihilnya anggaran dan lemahnya tenaga teknis.

Mestinya, ketika perda telah diketok, tidak ada lagi alasan ini dan itu untuk tidak membuat perwal. Anggaran, tenaga, pikiran maupun tenaga teknis merupakan konsekuensi logis dari penyusunan Perda. Artinya, sebelum Perda disusun, harus sudah ada anggaran yang disiapkan untuk membuat turunan dari perda tersebut.

Pasalnya, Perda Kota Mataram yang telah diterbitkan dua tahun terakhir, ternyata banyak yang belum dilaksanakan. Belum dilaksanakannya perda-perda tersebut karena belum dibuatkan perwal. Karenanya, Dewan akan mengevaluasi 310 perda yang ada di Kota Mataram, agar tidak mubazir dan berlaku efektif di masyarakat. Karenanya eksekutif harus didorong melakukan menginventarisir dan mengevaluasi keberadaan perda-perda di Kota Mataram. Perda-perda yang belum ada aturan teknisnya harus segera ditindaklanjuti dengan menyusun perwal.

Kalau dibiarkan tanpa Perwal, perda-perda tersebut tentu menjadi tidak bermakna. Dari tiga jenis perda, masing-masing berkaitan dengan retribusi, pajak dan kelembagaan, kelihatannya eksekutif hanya semangat menyusun perda yang berhubungan dengan retribusi dan pajak. Bisa jadi, lambannya Perwal mengikuti Perda-perda yang telah terbentuk karena beberapa faktor. Pertama memang karena lemahnya koordinasi antar SKPD. Sebab, Perwal biasanya berhubungan dengan perda. Artinya, kalau Perda dan Perwal dikelola secara bersama-sama, yang mana Perda itu lahir dari SKPD, maka SKPD tentu akan mengejar target selesainya Perwal dan aturan teknis lainnya.

Wajar kalau akhirnya Banleg menduga, banyak raperda tidak dikoordinasi dengan SKPD. Contohnya ada satu raperda yang sudah selesai seperti upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, kembali diajukan eksekutif. (*)

Komentar