SERAPAN
fisik dan juga keuangan oleh sejumlah SKPD yang masih di bawah 45 persen,
sangat disayangkan. Ini persoalan klasik yang sampai sekarang masih menjadi
penyakit akut sejumlah SKPD. Berbagai alasanpun diungkap mengiringi minimnya
capaian itu. Seperti, penataan lapangan umum yang sampai sekarang belum
terlaksana. Alasannya karena gambar harus berintegrasi dengan Badan Perencanaan
dan Pembangunan Daerah.
Kedua,
paket alat peraga milik Dikpora sekitar empat paket. Konon proyek itu menunggu
petunjuk teknis dari DAK. Sedangkan proyek pengadaan alat kesehatan (alkes)
milik Dinas Kesehatan terlambat dengan alasan, pengadaannya harus sesuai dengan
kebutuhan. Serapan fisik yang capaiannya di bawah 45 persen saja, mendapat
sorotan dari berbagai pihak karena dianggap terlalu kecil.
Ternyata
bukan itu saja. Realisasi serapan keuangan, justru menunjukkan angka yang lebih
mengecewakan. Sebab, realisasi serapan keuangan di sejumlah SKPD baru mencapai
27 persen. Sementara, saat ini triwulan kedua sudah lewat. Angka-angka capaian
yang ditunjukkan oleh sejumlah SKPD lingkup Kota Mataram, harus diakui,
bukanlah hal yang menggembirakan.
Hal
ini semestinya menjadi catatan dan evaluasi bagi kepala daerah terhadap kinerja
jajarannya. Jika dinilai secara kaku, itu jelas bertentangan dengan keinginan
Walikota dan juga Wakil Walikota Mataram. Dimana dalam banyak kesempatan,
kepala daerah maupun wakil kepala daerah kerap menekankan gerakan percepatan
pembangunan. Logikanya, jika tujuan pembangunan ingin cepat tercapai,
seharusnya, realisasi fisik maupun capaian keuangan harus sesuai dengan tenggak
waktu yang ada.
Ketika
kegiatan SKPD telah masuk dalam triwulan kedua, semestinya capaian sifik maupun
anggaran sudah diatas 50 persen. Minimnya capaian fisik dan keuangan sejumlah
SKPD itu dikhawatirkan akan berujung pada timbulnya Silpa (Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran). Hal ini tentu sangat disayangkan. Seharusnya anggaran
itu bisa dimanfaatkan untuk membiayaai kegiatan lainnya, yang notabene sangat
dibutuhkan masyarakat.
Meskipun
tidak semua Silpa itu buruk, namun selama ini, Silpa yang dihasilkan oleh SKPD
akan menuai penilaian negatif. Masyarakat sering memberi cap bahwa SKPD
bersangkutan tidak bekerja lantaran banyaknya Silpa yang dihasilkan. Namun lain
halnya jika Silpa itu muncul dari langkah-langkah efisiensi yang dilakukan oleh
SKPD. Terhadap SKPD yang menyumbang banyak Silpa hendaknya menbjadi perhatian
serius bagi pemerintah. Baik Pemkot Mataram maupun Dewan sebagai institusi yang
memiliki fungsi anggaran.
Harus
ada analisa dalam beberapa tahun anggaran mana SKPD yang menghasilkan banyak
Silpa dalam artian tidak mampu mengeksekusi programnya dan mana SKPD yang
melaksanakan programnya sesuai dengan tenggat waktu yang ada. Bagi SKPD yang
menunjukkan prestasi seperti mampu melaksanakan program yang ia rencanakan
sendiri, Pemkot mataram mestinya memberikan penghargaan. Misalnya berupa
penambahan anggaran bagi SKPD berprestasi. Demikian pula bagi SKPD yang sering
menghasilkan Silpa perlu diberikan sanksi dengan mengurangi anggaran yang
dikelola SKPD itu. Langkah ini diharapkan mampu memotivasi SKPD untuk lebih
giat bekerja. (*)
Komentar