ADANYA indikasi mafia beras seperti diungkapkan
Danrem 162/WB Kol. Lalu Rudy Irham Srigede harus menjadi atensi bersama. Kondisi
seperti merangkaknya harga beras sebagai dampak dari limitnya stok beras tidak
boleh dibiarkan berlama-lama. Harus ada tindakan konkret dari pihak-pihak
pemangku kebijakan.
Nampaknya cukup beralasan juga ketika Danrem
menyebut adanya dugaan permainan atau mafia beras. Beras sebagai komoditi pokok
yang dibutuhkan setiap hari oleh masyarakat, mestinya dijaga agar selalu dalam
kondisi stabil baik harga maupun cadangannya. Harga dan cadangan merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan.
Satu sama lain saling berkaitan. Cadangan yang
melimpah akan berdampak positif pada harga beras yang makin terjangkau oleh
masyarakat. Sebaliknya, mahalnya harga beras tidak terlepas dari minimnya stok
beras di dalam daerah. Padahal senyatanya NTB masih menjadi daerah yang surplus
beras. Namun diduga karena permainan pihak-pihak yang mengincar untung yang
sebesar-besarnya, akhirnya melakukan tindakan yang sesungguhnya merugikan
masyarakat secara luas.
Gabah petani banyak dibeli oleh tengkulak yang
selanjutnya menjual kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi. Bahkan,
penjualanpun sampai ke luar NTB. Hal ini tentu menjadi ironis. Karena Bulog
sebagai institusi yang berwenang menyerap gabah hasil panen petani, sepertinya justru
tidak mampu bernuat banyak. Beras yang dianggap Bulog tidak memenuhi kriteria, oleh
petani dinilai sebagai alasan klasik.
Bagaimana tidak, alasan itu sangat sering
didengar ketika petani menuntut hasil panennya diserap Bulog. Padahal, ketika
diantarpulaukan oleh tengkulak ke luar NTB, gabah yang dianggap belum memenuhi kriteria
oleh Divre Bulog NTB, justru dibeli oleh Bulog daerah lainnya. Sayangnya itu
bukan dari tangan petani langsung, melainkan sudah ada keterlibatan tengkulak.
Kalau Divre Bulog NTB terus-terusan menolak beras
petani sebagai cadangan beras di daerah, tentu akan sulit berharap NTB akan
memiliki sistem ketahanan pangan yang baik. Di sisi lain pemerintah tidak bisa
melarang pengiriman beras antar pulau di luar NTB. Sebab hingga saat ini belum
ada regulasi yang melarang pengantarpulauan beras. Sehingga, pemerintah hanya bisa
mengimbau kepada pengusaha beras untuk tidak menjual gabah atau berasnya ke
luar NTB.
Imbauan tentu saja tidak cukup ampuh untuk
menghentikan penjualan gabah atau beras ke luar NTB sebelum Divre NTB
memaksimalkan serapannya terhadap hasil panen petani NTB. Mestinya pemerintah
mulai memikirkan regulasi ketahanan pangan yang didalamnya mengintervensi
kebijakan terkait beras. Misalnya dalam regulasi itu ada larangan untuk
mengirim beras ke luar daerah. Kalaupun ada pengiriman beras, lingkupnya hanya
antar pulau dalam Provinsi NTB saja. Jika tidak segera dimulai, kondisi ketahanan
pangan NTB akan semakin melorot. Status daerah surplus beras dapat berubah
menjadi defisit beras lantaran banyaknya beras yang kirim ke luar NTB. (*)
Komentar