PEMKOT
Mataram akhirnya memenuhi janjinya, memberikan kompensasi kepada bekas penjual
miras. Pemkot Mataram menggelontorkan anggaran sekitar Rp 307 juta bagi 185
bekas penjual miras. Data yang diperoleh Pemkot Mataram dari masing-masing
kelurahan bahwa penjual miras tradisional berjumlah sekitar 185 orang. Sebanyak
185 bekas penjual miras ini, tergabung dalam 21 kelompok usaha. Mereka berasal dari 13
kelurahan di lima kecamatan.
Implementasi
dari pemberian bantuan ini, harus betul-betul diawasi. Sebab, Pemkot Mataram
sesuai janjinya, memberikan kompensasi kepada bekas penjual miras dalam bentuk
modal usaha. Praktis, dana bantuan dari Pemkot Mataram itu harus dimanfaatkan
untuk usaha yang produktif. Jumlah modal usaha secara keseluruhan yang disalurkan sebesar Rp 300
juta. Jumlah bantuan yang diterima masing-masing pedagang tergantung dari jenis
usaha apa yang akan dilakukan setelah berhenti berjualan tuak. Menurut Asisten
I Setda Kota Mataram, Lalu Indra Bangsawan pemberian bantuan modal usaha juga akan dilihat dari modal awalnya dulu saat
mulai berjualan tuak.
Nominal terbesar yang akan diperoleh tiap
kelompok yaitu Rp 34 juta, sedangkan nominal terkecil yaitu Rp 4,5 juta. Jumlah
tersebut kemudian akan dibagi dengan anggota di setiap kelompok usaha. Jumlah
anggota setiap kelompok bervariasi mulai dari lima orang, 10 orang, dan 15
orang. Dengan modal usaha ini, para pedagang diharuskan mengalihkan jenis
usahanya dari tuak ke barang bermanfaat lainnya seperti sembako, kue, warung kopi,
dan lainnya.
Karena
Pemkot Mataram tidak memberikan deadline
dalam penggunaan bantuan modal usaha itu, maka pengawasan bagaimana arah
penggunaan bantuan itu, mutlak harus dilakukan. Pengawasan harus dilakukan oleh
semua pihak. Terutama oleh camat, lurah maupun kepala lingkungan. Karena sejak
janji pemberian kompensasi itu disampaikan Walikota Mataram secara luas,
memunculkan berbagai spekulasi.
Terutama
kekhawatiran kalau pemberian kompensasi itu tidak akan membuat mereka berhenti
berjualan miras. Banyak kalangan mencurigai, pascaditerimanya dana bantuan itu,
maka mereka pelan-pelan akan kembali kepada profesi lamanya, yakni berjualan
miras tradisional di pinggir-pinggir jalan. Jika pengawasan tidak dilakukan
secara intensif, bukan tidak mungkin kasus pemberian kompensasi kepada warga
yang menyediakan rumah mereka untuk aktivitas prostitusi di sekitar Pasar
panglima, terulang kembali.
Masih
segar dalam ingatan, bagaimana mantan Penjabat Walikota Mataram, Hj. Putu Selly
Andayani berinisiatif memberikan kompensasi kepada beberapa warga yang
diketahui sebagai ‘’pemain’’ dalam praktik prostitusi di sana. Ketika
kompensasi diberikan, mereka mengiyakan janji untuk tidak lagi menyewakan rumah
mereka kepada para pelaku prostitusi. Nyatanya sekarang, aktivitas prostitusi
di eks Pasar Beras itu, diduga kembali marak.
Agar
nasib kompensasi penjual miras tidak seperti kompensasi kasus prostitusi Pasar
Panglima, Pemkot Mataram memang harus terus mengawasi arah penggunaan bantuan
tersebut. Jangan sampai karena kelengahan pemerintah, mereka kembali kepada
profesi lamanya, menjual miras. Karena keberadaan penjual miras tradisional,
berdampak cukup luas di Mataram. Tidak hanya merusak citra Kota Mataram yang
mengusung visi maju, religius dan berbudaya. Lebih dari itu, berdampak negatif
terhadap generasi muda. (*)
Komentar