Pengelolaan Partisipasi Masyarakat di Sekolah Harus Transparan

H. Didi Sumardi
Mataram (Suara NTB) -
Ketua DPRD Kota Mataram, H. Didi Sumardi, SH., mendorong pengelolaan partisipasi masyarakat dilakukan secara transparan oleh masyarakat. Ini merupakan salah satu rekomendasi pihaknya dalam rapat dengar pendapat antara tim saber pungli dengan dewan pendidikan, Dinas Dikbud dan juga DPRD Kota Mataram.

Didi kepada Suara NTB di DPRD Kota Mataram, Rabu (15/3) mengaku rapat dengar pendapat itu untuk menyamakan persepsi antar stake holder terkait. Sejauh mana hal-hal yang berkaitan dengan pelibatan partisipasi masyarakat yang termasuk kategori pungli. Karena, dari 58 item yang dikategorikan pungli itu, bukan merupakan produk tim saber pungli. ''Itu berdasarkan aduan-aduan masyarakat. Itu bukan keputusan tim saber pungli dan Tim Saber Pungli tidak bisa  mengatakan itu masuk dalam kategori pungli,'' terangnya.

Manakala dalam menggali partisipasi masyarakat, ada keraguan dari pihak komites sekolah maupun pihak sekolah, Tim Saber Pungli sangat terbuka untuk diundang ke sekolah-sekolah dalam rangka mengkonfirmasi maupun konsultasi terkait batasan pungli. Kaitannya dengan itu, sebelum memasuki PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), akan ada semacam rapat untuk menyamakan persepsi.

Meskipun, dalam Permendikbud No. 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah sudah mengatur bagaimana pembiayaan sekolah. ‘’Kalau boleh kita sebutkan di situ, pembiayaan sekolah selain yang bersumber dari BOS, itu juga bersumber dari bantuan, sumbangan. Yang tidak boleh itu pungutan,’’ ujar Didi. Bantuan bersumber dari pribadi maupun lembaga dan berdasarkan pertimbangan pihak yang membantu.

Selain bantuan, sumbangan juga diperbolehkan. Bersumber dari perorangan maupun badan. Prinsipnya adalah tidak boleh ada unsur paksaan, tidak boleh ditentukan nilainya dan tidak ditentukan batas waktunya. ‘’Jadi sifatnya sukarela, tidak boleh ada pemaksaan,’’ pungkasnya. Yang tidak kalah pentingnya dalam regulasi tersebut, bahwa pihak yang diperkenankan mengelola bantuan maupun sumbangan itu, adalah komite sekolah.

‘’Sekolah tidak diperbolehkan untuk mengelola,’’ tegasnya. Meskipun pada aturan berikutnya, pertanggungjawaban atas bantuan maupun sumbangan itu selain oleh komite, juga pihak sekolah. Pertanggungjawab itu harus akuntabel dan transparan. Untuk itu, sekolah harus membangun sistem sehingga tidak memenuhi unsur-unsur yang dilarang. Pada bagian lain, Didi mengajak semua pihak untuk mengetahui kondisi sekolah yang sebenarnya.

‘’Apa alasannya perlu membuka partisipasi masyarakat,’’ cetusnya. Hal itu harus diketahui oleh semua pihak. Didi menggambarkan, sebagian besar sekolah masih sangat berharap adanya partisipasi masyarakat untuk dapat menjalankan proses belajar mengajar yang baik sehingga mampu menghasilkan output yang berkualitas. Karena BOS sebagai sumber pembiayaan sekolah nyatanya belum bisa mengcover semua kebutuhan sekolah.

‘’Faktanya seperti itu,’’ katanya. Dimana, masih banyak terdapat GTT (Guru Tidak Tetap) dan PTT (Pegawai Tidak Tetap). GTT dan PTT ada karena kebutuhan sekolah. Karena jumlah guru di sekolah negeri tidak mencukupi. Rasio jumlah guru dan siswa tidak sinkron. Sementara, pemberian honor untuk GTT dan PTT tidak cukup dari dana BOS. Rata-rata GTT dan PTT menerima honor Rp 250 ribu. ‘’Sangat tidak manusiawi,’’ katanya. Sebelum-sebelumnya, honor GTT dan PTT ini terpenuhi dari partisipasi masyarakat dalam bentuk sumbangan.

Pihak sekolah juga merasa tidak maksimal mengelola sekolah manakala sumber pembiayaan hanya dari BOS. Jika GTT dan PTT tidak ada, banyak kegiatan-kegiatan penunjang di sekolah, tidak bisa berjalan maksimal. ‘’Ini akan berpengaruh kepada output di sekolah secara berkualitas,’’ katanya. (fit)


Komentar