Validasi Data Kemiskinan

KEMISKINAN masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah. Mulai dari tingkat nasional, provinsi maupun di kabupaten/kota. Bahkan, Kota Mataram yang luasnya hanya sekitar 61,30 kilometer persegi diketahui memiliki sejumlah kantong kemiskinan. Dari enam kecamatan yang ada di Kota Mataram, dua kecamatan disebut-sebut sebagai penyumbang orang miskin tertinggi.

Dua kecamatan itu, masing-masing Kecamatan Selaparang dan Kecamatan Sandubaya. Jumlah warga miskin di Kecamatan Selaparang sekitar 11,78 persen. Sedangkan di Kecamatan Sandubaya jumlahnya lebih banyak lagi, yakni sekitar 12,60 persen. Data kemiskinan ini, salah satunya merujuk jumlah warga penerima bantuan rastra atau beras sejahtera.

Kondisi ini, sebagaimana diakui Camat Sandubaya, Lalu Samsul Adnan, kondisi itu tidak terlepas dari tingkat pendidikan warga di sana. Tingkat pendidikan yang rendah membuat warga di Kecamatan Sandubaya banyak yang memilih profesi sebagai buruh dan petani. Pemerintah tidak menutup mata terhadap kondisi masyarakat. Hanya saja, pola penanganan kemiskinan di perkotaan ini perlu dievaluasi secara menyeluruh.

Karena ada juga kalangan yang menyangsikan jumlah warga miskin di daerah ini. Angka kemiskinan yang tercatat oleh BPS seringkali dimatching dengan kenyataan di lapangan. Tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya. Misalnya data orang miskin yang dikeluarkan oleh BPS, terkadang belum mengcover semua warga miskin di daerah ini. Padahal, data ini, oleh pemerintah pusat menjadi acuan ketika akan mendistribusikan berbagai macam bantuan.

Konkretnya, ada warga yang betul-betul miskin tapi tidak termasuk dalam data tersebut. Sebaliknya yang dipandang mampu justru mendapatkan bantuan. Kondisi itu rentan menimbulkan kesenjangan sosial di masyarakat. Untuk itu, data warga miskin perlu dilakukan validasi secara berkala. Paling tidak setahun sekali. Karena kalau data yang digunakan adalah hasil pendataan tiga tahun atau lima tahun yang lalu, bisa jadi kondisnya sudah berubah.

Bila perlu, agar jumlah warga miskin sesuai dengan kondisi riil, pendataan itu harus dilakukan dari rumah ke rumah. Instansi yang berwenang melakukan pendataan harus sudah memiliki acuan yang jelas mengenai kriteria orang miskin. Pemerintah daerah beserta jajarannya dan juga masyarakat harus memiliki persepsi yang sama mengenai kriteria orang miskin. Hal ini dimaksudkan agar ketika pembagian bantuan, tidak ada lagi warga miskin yang protes lantaran tidak mendapatkan bantuan.

Menyelesaikan masalah kemiskinan, tidak ansih soal data yang valid. Data yang valid saja tidak cukup. Karena yang paling penting adalah bagaimana pola intervensi yang dilakukan pemerintah. Selama ini, bantuan berupa pangan maupun bantuan non pangan sepertinya tidak dapat membantu warga miskin untuk keluar dari kemiskinan itu sendiri. Bantuan yang diberikan pemerintah merupakan bantuan yang cenderung bersifat instan.


Ke depan, perlu dipikirkan agar bantuan kepada warga miskin dalam bentuk bantuan produktif. Sehingga, warga tidak melulu bergantung kepada pemerintah. Diharapkan warga bisa mandiri dengan bantuan produktif yang diberikan tersebut. Bantuan produktif itu, selain dari pemda, bisa juga berasal dari program aspirasi anggota Dewan. Karena bagaimanapun, masalah kemiskinan ini menjadi tanggung jawab bersama. (*)

Komentar